Ngembel, Telaga yang Masih Perawan
Telaga Ngembel yang Masih Perawan
Dari
kota Jogja aku menuju kota Bantul. Rute mudahnya adalah melalui Jl.
Bantul. Di perempatan Masjid Agung Bantul aku berbelok ke arah barat.
Rute ku berikutnya adalah menuju Makam Sewu, di Desa Wijirejo, Kec.
Pandak. Makam dimana Panembahan Bodho seorang tokoh penyebar Islam yang
masih bersaudara dengan Ki Ageng Wonolelo Banyak peziarah yang datang
kemari dan bersemedi untuk mencari berkah (khas jawa banget). Adapun di
bulan Sya’ban menjelang puasa kerap digelar upacara Nyadran.
Tiada
pernah merasa jenuh ketika aku menyusuri jalan pedasaan di kawasan
Pajangan Bantul. Setelah mengunjungi Krebet, aku terus menyusuri jalan
yang sunyi ini. Terdapat satu tempat makan yang kudengar itu merupakan
kepunyaan warga asal Australia yang kini berdomisili di Bantul ini. The
Sawah namanya tak setenar yang kita tahu. Restoran ini hanya beroperasi
jika ada pesanan saja. Aku belum sempat menapak langkah kesana namum
deskripsi dari orang sekitar cukup jelas membuatku mengerti tentang
tempat itu.
Tak
ku bayangkan jika di daerah ini terdapat sebuah telaga kecil yang
hingga kini belum tersentuh tangan dinas pariwisata untuk dikembangkan.
Tak ada plakat atau apa yang menunjukkan keberadaan telaga ini. Sebut
saja telaga Ngembel.
Seperti halnya dengan Sendang Ngembel. Sebuah sendang (mata air) yang terletak di Dusun Beji Wetan, Desa Sendangsari, Kec. Pajangan, Kab. Bantul, DI Yogyakarta. Warga menamainya Sendang Ngembel karena dahulu di sendang ini airnya bercampur lumpur. Kata ngembel berasal dari kosakata Jawa, mbel, yang bermakna lumpur yang tidak pekat.
Jalan menuju telaga ini bagai kali asat (sungai kering) banyak batuan terjal yang menantang. Tertambah lagi dengan kahanan tanah yang becek. Udah becek gak ada ojek capek deh! Tapi semua itu terbayar sudah, ketika aku mulai melihat dari kejauhan hijaunya air telaga. Damai yang ku rasa ! krik krik suara jangkrik masih dapt ku dengar disini. Suasananya khas banget seperti desa ku 10 tahun yang lalu. Masih sangat lekat suasana pedesdaan disisi. Turun dari motor, aku cepat berlari menuju pulau kecil di tengah telaga. Tak memperdulikan becek dan licinnya jalan setapak menuju kesana.
Lagi-lagi aku harus kembali menikmati suasana desa di daerah ini. Santan, Guwosari, Pajangan, Bantul. Yang mulai dikenal dengan kerajinan batok kelapa sebagai andalannya. Nur taufik salah satu pengusah batok kelapa terbesar di desa ini. Beliau memulai usahanya sejak 1991 , beberapa tahun yang lalu. Kini industri rumahan ini mulai berkembang pesat. Pangsa pasarnya pun manca Negara. Dari dialog ku dengan pemilik Cumplung Aji ini, dengar-dengan Santan mulai dikembangkan menjadi desa wisata. Fasilitas homestay disini juga sudah tersedia. Tinggal menunggu wisatawan yang berkunjung kesini.
Di persawahan desa Santan, aku melihat 4 tiang bambu yang disetiap ujungnya dipasang tali untuk diikatkan dengan ketiga ujung yang lainnya. Untuk apakah keempat tiang bambu ini? Ternyata untuk adu balap merpati atau keplekan orang Jawa bilang. Jadi merpati itu di terbangkan secara bersamaan barang siapa merpati yang paling cepat mendarat dengan melewati tiang bambu itu maka merpati itulah yang dinobatkan sebagai sang winner. Tapi sayang aku tak dapat melihat balap merpati kali ini.
Rute selanjutnya adalah Petilasan Ki Ageng Mangir. Sedangkan Petilasan Ki Ageng Mangir ini masih bisa dijumpai di Dusun Mangir Tengah, Sendangsari, Pajangan, Bantul dengan menempati lahan seluas 7.000 meter persegi yang sudah dipagari secara swadaya oleh warga bernama Suwandoyo. Di area situs petilasan ini dikumpulkan beberapa benda terkait petilasan peninggalan Ki Ageng Mangir, di antaranya dhampar (singgasana), umpak, lingga yoni, dan arca nandi.
Puas jajah deso, aku melanjutkan perjalanan. Mampir sejenak melepas dahaga dengan minum wedang bajigur. Manisnya cukup untuk mengusir rasa lemas di raga ini.
Komentar
Posting Komentar