KASONGAN-GENDENG-KREBET-WIJIREJOJALUR WISATA HOME INDUSTRY BANTUL
Tangan Terampil Sosok Paruhbaya Kasongan
Perjalananku berawal dari jantung kota Yogyakarta, tepatnya di nol kilometer. Ku arahkan langkahku menelusur sisi selatan kota Yogyakarta. Bantul, menjadi tempat penjelajahanku kali ini. Bersama dua, tiga orang kami mulai memasuki gerbang kabupaten Bantul. Terus memacu gas sepeda motor di jalan Bantul. Berbelok kanan memasuki kawasan Kasongan. Desa Wisata Kasongan terletak di pedukuhan Kajen, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Replica Sang Budha Gaotama menyambut kami di depan mata. Debu-debu beterbangan terbawa angin sepoi-sepoi sedikit panas.
Berhenti sejenak hanya untuk melepas lelah sembari melihat tangan-tangan terampil wanita tua yang sedang membuat gerabah. Mulut ceriwis ku kembali menyeloteh, bertanya-tanya tentang bagaimana proses pembuatan gerabah ini.
Ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Pertama diambillah adonan tanah liat dengan campuran sedikit pasir dan tanah local dengan perbandingan yang tepat. Pada dasarnya proses pembuatan gerabah dibagi dalam dua bagian besar, yakni dengan cara cetak untuk pembuatan dalam jumlah banyak (masal) atau langsung dengan tangan. Untuk proses pembuatan dengan menggunakan tangan pada keramik yang berbentuk silinder (jambangan, pot, guci), dilakukan dengan menambahkan sedikit demi sedikit tanah liat diatas tempat yang bisa diputar. Salah satu tangan pengrajin akan berada disisi dalam sementara yang lainnya berada diluar. Dengan memutar alas tersebut, otomatis tanah yang ada diatas akan membentuk silinder dengan besaran diameter dan ketebalan yang diatur melalui proses penekanan dan penarikan tanah yang ada pada kedua telapak tangan pengrajin.Pembuatan gerabah atau keramik, mulai dari proses penggilingan, pembentukan bahan dengan menggunakan perbot, hingga penjemuran produk biasanya memakan waktu 2-4 hari. Produk yang telah dijemur itu kemudian dibakar, sebelum akhirnya proses finishing dengan menggunakan cat tembok atau cat genteng. Tak lama waktu berselang gerabah mentah berbentuk bumbungan genting telah jadi. Di tata rapi dan mulai mengambil sebongkah tanah liat untuk dibuat grabah lagi. Lagi dan lagi hingga terkumpul banyak gerabah yang siap di bakar.
Tatah Sungging Wayang, Gendeng
Setelah lelah mulai hilang kami melanjutkan perjalanan dengan di pandu seorang Guide yang tak lain adalah guru ku sendiri. Jika biasanya beliau membawa tamu dari luar negeri atau orang Jawa menyebutnya dengan sebutan Londo, Kali ini beliau membawaku sebagai Londo Jowo, wisatawan blusukan yang ingin memperdalam ilmu kepariwisataan di tempat yang cukup terpencil itu. Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Gendheng salah satu sentra kerajinan wayang kulit di Kabupaten Bantul. Gendeng terletak di desa Bangunjiwo kecamatan Kasihan berjarak sekitar 8 km arah selatan dari kota Yogyakarta.
Yaah, tema kita hari ini adalah The Golden Ways to go to The Heart of Bantul. Selain hanya sekedar jalan-jalan tapi salah satu misi kita hari ini adalah observasi dalam rangka mengikuti olimpiade pariwisata yang diadakan salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Aku memilih Bantul sebagai objek karya tulisku karena aku percaya bahwa Bantul itu memiliki banyak sekali potensi pariwisata yang sangat baik untuk dikelola dan dikembangkan. Tekatku hanya satu, memperkenalkan daerah-daerah tersembunyi di Bantul yang memiliki eksotisme dan daya tarik wisata bagi khalayak.
Berjajar ruko memamerkan berbagai tokoh pewayangan. Di sudut jalan ku lihat tampak selembar kulit binatang tengah dijemur di bawah terik pans matahari. Setttt, tiba-tiba guruku itu menghentikan motornya. Kulonuwun, kami bertandang di rumah salah satu pembuat wayang di kawasan Gendheng. Sebut saja Pak Sunyoto. Beliau cukup terkenal di daerah ini. Belum lama ini beliau juga sempat shoot bersama Jejak Si Gundul Trans7 itu aku ketahui dari ceritanya dan aku semakin yakin saat itu dia juga mengenakan kaos bertulis acara tersebut. Banyak cerita yang kudapat di sana. Suasana pun semakin lama semakin akrab yaa karena Pak Sunyoto adalah salah satu rekan pembimbingku itu, Pak Wanto. Pak Sunyoto mulai berpanjang lebar menceritakan bagaimana proses pembuatan wayang kulit itu.
Seni Tatah Sungging
Kulit kerbau yang di ambil dari salah satu daerah di Banten itu mulai di bentangkan di kotak kayu lalu di jemur. Butuh waktu satu hingga dua hari untuk proses pengeringan ini. Setelah benar-benar kering, proses selanjutnya adalah pengerokan bulu-bulu dan penipisan kulit. Sisa-sisa dari penipisan itu ternyata tidak di buang secara percuma, namun masih dapat di olah lagi menjadi makanan sejenis kerupuk kikil. Proses pemolaan dapat di mulai setelah ini. Di bentuk lah pola-pola tokoh pewayangan. Harga di yang dipatok berkisar mulai dari Rp 700.000,00 untuk sebuah wayang kulit biasa. Untuk wayang kulit dengan pewarnaan gold harga mulai dari 1 juta. Itu semua sebanding dengan perjuangan membuat karya seni tatah sungginng ini.
Kedamaian yang Ku Temukan di Krebet
Kami tak dapat menghabiskan waktu lama di sini karena kami harus melanjutkan petualangan kami ke tempat-tempat eksotik lain di kawasan ini. Tak jauh dari sentra penghasil wayang kulit. Terdapat desa wisata yang cukup akrab di telinga masyarakat, desa wisata Krebet desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul. Fasilitas di tourism village ini cukup lengkap. Ada homestay, sanggar seni, terdapat banyak somethink yang dapat di temui disana. To buy beraneka macam ornament batik kayu mulai dari gantungan kunci, hiasan dinding, hingga vandal dll. To see how to make batik kayu dan to do bercampur tangan untuk mengekspresikan jiwa seni kita dengan turut serta membuat batik kayu. Semua alat dan bahan telah disediakan pihak pengelola.
Batik kayu
Jika ingin berlama-lama di Krebet tersedia homestay dengan nuansa tradisional yang akan membuat anda nyaman dan tak ingin meninggalkan tempat ini. Udara yang sejuk dengan landscape pepohonan hijau rindang di sepanjang jalan, rasanya aku mulai menyatu dengan alam di sini. Rasanya aku tak ingin meninggalkan tempat ini. Keramahan warga sekitar menambah atmosfer kehangatan penyambutan kedatangan kami, pelancong asli Jogja. Rasa tentremku ini harus aku pudarkan demi melanjutkan perjalanan yang selanjutnya.
Jalan yang naik turun dan berkelok-kelok membuat kami semakin berhati-hati berkendara. Sesekali kami jumpai kubangan kecil jalan-jalan aspal yang beerlubang. Ooh desaku yang ku cintai pujaan hatiku, lirik lagu itu membuatku semakin cinta dengan wisata desa ini. Pemandangan yang sangat sangat sangat indah. Cukup membuat otakku refresh dengan segala kepenatan setelah seminggu full menuntul ilmu di bangku sekolahan.
Pande Besi yang Masih Mempertahankan Nilai Tradisional
Terakhir perjalanan ini adalah Wijirejo, Pandak, Bantul . Kampong halaman bapak guru. Kami memberhentikan perjalanan di dusun Jodog dimana para warganya bermata pencaharian sebagai pande besi. Tak terlihat alat modern seperti apa yang aku bayangkan. Hanyalah alat-alat tradisional yang dapat ku temui disisin. Yang membuatku gumon adalah kulihat dua gelondong kayu yang dilubangi tengahnya dan dipompa. Tak ada sesuatu yang ada di pikiranku. Ternyata aku baru tahu ternyata alat itu adalah sebuah alat penghasil udara, bukan kipas angin yang tinggal pencet langsung beeer. Untuk mengoperasikan alat ini di perlukan tenaga manusia untuk memompanya.
Ubupan namanya.
Sungguh, patut di hargai masyarakat-masyarakat desa yang terus mempertahankan kealamian tanpa menutup budaya-budaya baru yang masuk seperti ini. Kulihat perasaan yang solid masih ada pada masing-masing individu warga desa ini. Tercermin dari gotong-royong menempa besi yang tadinya pipih lama kelamaan terlihan bentuk yang ingin mereka buat, cangkul. Butuh 1 jam untuk proses pemipihan ini. Dipanaskan hingga warnanya menyala bagaikan bara. Pemipihan berlangsung berulang-ulang tak peduli keringat yang terus bercucuran keluar. Semangat mereka kian menjadi saat aku bertamu kesana. Dengan keluguan dan sikap polos mereka menyambutku dengan penuh sikap terbuka.
Banyak Cerita tentang Gempa Jogja 6 tahun yang Lalu
Senangnya berasa jadi tuan di negeri sendiri. Melancong dari desa ke desa padahal aku sendiri adalah gadis desa ehemmm tapi gak ndeso lho ya. Hari mulai beranjak sore, jam menunjukkan pukul 4 sore kami beristirahat di desa tempat guruku dilahirkan. Gesikan, Wijirejo, Pandak, Bantul. Masih ada rumah peninggalan orangtua beliau bekas gempa 6 tahun yang lalu. Sembari menikmati rambutan yang ku petik langsung dari pohon di depan rumah itu aku menikmati kesunyian rumah tua itu dengan suara-suara khas desa, kinjeng tangis biasa bapak bilang. Buah jambu yang merah itu, aku ingin mengambilnya tapi apa daya aku tak bisa lagi memanjat bergelantungan seperti dulu karena aku mengenakan rok panjang abu-abu putih seragam sekolah.
Banyak terdapat cerita 6 tahun yang lalu disini. Kedatangan warga Jepang untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan korban gempa. Cukup banyak kenangan terukir disisi, ditanamnya pohon-pohon perindang sebagai napak tilas kedatangan mereka. Juga di bangunnya perpustakaan kecil penuh isi dengan karya anak-anak desa. Meski kini perpustakaan itu hanya tingga lantainya saja namun aku masih bisa menemukan sisa-sisa buku di dalam rumah. Buku-buku Jepang yang telah ditranslate ke dalam bahasa kita. Tempat ini, dulunya pernah di canangkan sebagai desa wisata baru, namun belum terealisasi.
Aku diajak berjalan berkeliling kampong. Melihat persawahan yang hijau, kolam ikan, kali mbedog yang terkenal angker, hingga tempat pengrajin akar wangi. Aku heran bukan karena kerajinan akar wanginya namun aku heran dengan kerajinan lain di tempat ini. Serat gambas? Disulap menjadi hiasan-hiasan dinding yang unik. Sontak membuatku kagum dengan karya seni yang baru aku lihat ini.
Serat Gambas
Wijirejo Memang Produsen Batik
Sebelum kami pulang, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat industri rumahan batik cap Wijirejo. Melihat bagaimana proses pembuatan batik. Aku juga sempat mengadakan sesi wawancara dengan para pekerja. Lagi-lagi aku menjadi tuan di negeri sendiri di sambut dengan ramah. Aku benar-benar tak dapat melupakan perjalanan ini.
Komentar
Posting Komentar